My UTBK Recap | Pengalaman UTBK di Tahun 2021 (part 2)

Berylla Asyarif
6 min readJun 2, 2023

--

Lanjut part 2 ~

Hasil penguman UTBK-SBMPTN. Aku gagal ternyata, haha. | Dok: (YouTube.com/LTMPT OFFICIAL) https://www.tribunnews.com/pendidikan/2021/06/14/tampilan-hasil-sbmptn-2021-yang-dinyatakan-lolos-cek-pengumuman-sbmptnltmptacid-dan-29-link-lain?page=3.

Alhamdulliah ‘ala kulli hal.

Menarik, ya. Kukira akan berwarna merah, ternyata hijau dengan kata “semangat”. Tidak seperti tahun-tahun sebelumnya yang berwarna merah membuat trauma.

Bayanganku mendapatkan kata “selamat” dan barcode pun hilang. Gagal lagi ternyata. Aku tidak menangis saat itu. Hanya diam termenung. Saat Mama Papa bertanya hasilnya, aku jawab bahwa aku gagal lagi. Mereka sempat agak kecewa. Namun, terus memberiku semangat untuk persiapan ujian mandiri. Baru pada malam hari saat di kamar, aku menangis lumayan sesenggukkan tetapi tanpa suara, takut Mama Papa tahu.

Ditolak itu rasanya sakit, ya. Bukan aku yang gagal mencapai impianku, tetapi impianku yang menolakku.

:’’’)

Oke, the journey it’s just begins, rigth?

Huft…

Kalau tidak salah, seminggu kemudian hasil skor UTBK keluar.

Hasil skor UTBK | Dok: Pribadi

Ini hasil skor UTBK-ku. Jelek banget. AHAHHAHAHHAHAHA.

Bisa dilihat di Nilai TPS, skorku benar-benar rendah. Inilah akibat terlalu menyepelekan TPS, ya, Adik-adik. Hanya skor Biologi dan Kimia yang menurutku masih memiliki harga diri dan dapat kubanggakan. Walaupun, ada beberapa peserta yang nilai bilogi dan kimianya tembus 1000. Yah, memang rezekinya dia. Capek juga kalau mau dibanding-bandingkan dengan milikku yang seuprit itu.

Dengan skor UTBK inilah aku mendaftar ke UPNV Jakarta. Oh, ya, kebanyakan ujian mandiri ada uang gedung/BOP atau semacam itulah, ya. Jadi, otomatis lebih mahal dibanding UTBK-SBMPTN. Di UPNJV Jakarta sendiri, SPI-nya sekitar 200 juta-an yang dibayar lunas di awal semester pertama, ini khusus kedokteran, ya. Untuk jurusan selain kedokteran biasanya lebih rendah.

Aku tidak berharap banyak, bahkan aku berharap agar tidak lolos di kampus itu. Entahlah, aku merasa kampus itu bukan impianku. Ketika pengumuman, benar saja, aku tidak lolos. Aku biasa saja, sih. Sudah biasa dengan kata “maaf” atau “semangat” dari hasil seleksi.

Lanjut ke SIMAK UI. Ini bisa dibilang it’s the moment trully breaks my heart better than others selection. Tentu saja. Waktu itu seleksinya masih daring. Jadi, ujian dari laptop atau komputer di rumah masing-masing dengan posisi kamera menyala, mic dinyalakan, tidak boleh ada orang lain dalam satu ruangan, ruangan wajib terang, kemudian di tempelkan nomor ujian setinggi dada. Chance terjadinya kecurangan memang sangat tinggi, tetapi pihak SIMAK UI dapat meminimalisir hal itu. Walaupun, ujung-ujungnya tetap saja ada yang melakukan kecurangan bahkan sampai menjoki. Hadeh.

Qadarullah, saat itu kepalaku agak pusing dan suhu badanku agak naik. Sepertinya karena terus menerus memaksakan diri belajar. Aku hanya memiliki waktu persiapan sebulan. Alhasil, hampir setiap hari aku berkutat di tempat bimbel atau maraton soal di kamar.

Saat mengerjakan aku berkali-kali terdistrak karena rasa pusing yang mengganggu. Apalagi soal Bahasa Indonesia yang teksnya sangat panjang, melebihi soal UTBK kemarin. Aku benar-benar tidak fokus. Soal TKA-nya pun jauh lebih sulit dibanding UTBK. Matematika banyak hal yang tidak kumengerti saking sulitnya, fisika jangan ditanya, kimia dan biologi yang seharusnya aku bisa, justru di sini aku ragu-ragu. Bahasa Inggris juga jauh sekali tingkatan vocabulary-nya menurutku. Ditambah dengan aturan soal yang kalau benar bernilai 1, salah bernilai -1, dan kosong bernilai 0. Aku benar-benar pasrah. Aku ingin mendapat kata selamat. Aku ingin sekali bisa lolos di PTN yang dari SD sudah kuimpikan.

Pengumuman SIMAK UI sekitar dua minggu setelah ujian. Jujur, di sini aku benar-benar berharap. Aku mau masuk UI. Aku mau kuliah di UI. Aku mau jadi bagian dari mahasiswanya.

Dan, hasilnya …

Hasil SIMAK UI. Punyaku sengaja tidak kusimpan. | Dok: Buka penerimaan.ui.ac.id untuk Cek Pengumuman Seleksi Simak UI 2021 (kompas.com)

Ya, Allah. Gagal lagi.

Waktu liat hasilnya, lemes banget rasanya. Capek. Langsung, di situ aku nangis sejadi-jadinya dengan suara yang agak besar, sampai Mama ke kamarku untuk menenangkan.

*Deep crying*

“Kamu kenapa?”

“Aku gagal lagi, Ma. Capek banget gagal terus. Temenku yang lain bisa masuk PTN, padahal mereka di bawah aku peringkatnya”

*Deep crying*

“Yaudah, gapapa. Kalaupun kamu tahun ini ga bisa masuk PTN manapun, gapyear pun gapapa”

*Crying so hard*

Aku sempat mengutarakan ke Mama Papa kalau tahun ini bukan rezekiku, aku memilih gapyear. Tetapi, aku belum siap.

Di titik ini, aku sempat berpikir. Apa jurusan yang kupilih terlampau tinggi? Apa aku kurang belajar? Apa aku kurang latihan soal & try out? Apa aku sebodoh itu sampai UI menolakku? Kalau begitu, untuk apa aku belajar mati-matian saat SMA? Untuk apa aku dapat peringkat tiga besar tapi dapat kampus saja tidak? Dan pemikiran su’udzon lainnya.

Masih ada dua kesempatan ujian mandiri, tetapi rasanya aku sudah putus asa saja. Aku sempat mengutarakan untuk ganti jurusan ke jurusan yang keketatannya tidak setinggi pendidikan dokter, seperti biologi misalnya, tetapi Mama menolak mentah-mentah. Beliau tidak mau aku kuliah selain di FK. Beliau menyarankanku gapyear saja jika tidak diterima tahun ini. Bahkan, ada rencana untuk memasukkanku ke FK swasta nantinya jika aku benar-benar kehilangan harapan kuliah di PTN tahun ini. Papa mengembalikkan keputusan kepadaku, semuanya tergantung aku. Kalau memang ingin ganti jurusan, silakan saja. Kalau tetap ingin FK, silakan saja.

Aku tetap mempertahankan keinginanku (keinginan Mama sebenarnya) untuk tetap mendapatkan FK. Aku juga mulai realistis dengan keputusanku. Kini, UI bukan prioritasku lagi. Kampus dengan slogan “We are the yellow jacket” tersebut sudah berulang kali menolakku.

Sakit, euy, ditolak terus sama calon impian.

Aku memilih FK UIN Jakarta untuk tujuan mandiriku selanjutnya. Pada SMMPTN-BARAT, aku hanya memilih FK UIN Jakarta karena hanya kampus itu yang terdekat dengan rumahku, selebihnya berada luar Pulau Jawa dan Mama menolak keras putrinya untuk merantau ke pulau orang.
SMMPTN-BARAT sendiri adalah seleksi bersama PTN-PTN di wilayah Barat. Jadi, prinsipnya mirip UTBK-SMBPTN, tetapi opsi kampusnya hanya PTN-PTN di wilayah Barat saja.

Tingkat kesulitan soalnya mirip UTBK-SBMPTN. Namun, ada soal-soal yang mirip dengan beberapa soal tahun 2018 ke belakang, terutama di penalaran umumnya. Kabar buruknya, aku tidak mempelajari materi itu karena — lagi-lagi — menurutku mudah. Soalnya berbentuk urutan gambar, kita disuruh untuk mencari kemungkinan gambar selanjutnya. Yak, aku kesulitan karena gambarnya mirip-mirip sampai membuat mataku agak sakit melihatnya. Soal kimia dan biologinya menurutku agak sulit, untuk bagian pemahaman kuantitatif aku benar-benar pasrah akan hasilnya nanti, kemudian untuk fisika dan matematika no comment, di bagian literasi, menurutku tingkatannya sama dengan UTBK-SBMPTN. Overall, aku lumayan kesulitan.

Sebenarnya, sebelum pengerjaan, aku sempat menangis kecil. Aku takut gagal untuk kesekian kalinya. Aku terlalu takut untuk mendapat kata “semangat”. Aku lelah harus merasakan NT terus menerus di usia 18 tahun. Yah, dengan pengalaman mengerjakan soal tadi, aku tahu aku pasti gagal lagi. Saat perjalanan pulang, aku benar-benar menangis sejadi-jadinya. Lelah rasanya. Sesulit ini, kah, hanya untuk kuliah saja?

Aku punya firasat bahwa aku akan gapyear. Aku tidak kaget saat membuka pengumuman SMMPTN-BARAT, aku mendapatkan kata “maaf”. Seperti sudah menjadi makanan sehari-hari. Kini, kesempatanku hanya tinggal satu. Ujian SPMB UIN Jakarta kalau tidak salah di pertengahan bulan Juli, tetapi aku belum mempersiapkan apapun. Belajarku terhenti sampai SMMPTN-BARAT kemarin, ditambah, keinginanku untuk gapyear semakin kuat.

Desas-desus SPMB UIN Jakarta ada soal bahasa Arabnya itu benar. Namun, aku benar-benar tidak mempersiapkan sama sekali. Aku hanya mengingat materi yang pernah kupekajari sebelumnya tanpa memahami materi baru. Untuk bahasa Arab sendiri, aku pernah belajar saat SD, dan soalnya tergolong mudah, tidak seperti yang ada pada tampilan layar ujian SPMB.

Susah, hiks.

Finally, aku telah menyelesaikan semua ujian mandiriku dengan hasil nice try. Sedih? iya, tetapi juga malu. Aku malu karena saat teman-temanku yang biasa saja bisa kuliah di PTN sedangkan aku menjadi calon pengagguran untuk setahun ke depan hingga UTBK kembali diselenggarakan.

Aku benar-benar meng-cut off kontak dengan teman-teman SMA-ku, bahkan tempat bimbelku. Perjuanganku kurang lebih 6 bulan ternyata masih sia-sia. Aku merasa tidak memiliki value apa-apa selain gagal dan gagal.

Si paling NT.

Hmpft…

Begitulah tahun kesedihanku setelah aku lulus SMA. Aku belajar bahwa menggapai impian itu tidak mudah dan kerja keras pun belum tentu menjamin kesuksesan. Segalanya sudah ada yang mengatur, jadi, apapun hasilnya, aku hanya harus legowo dan belajar dari kesalahan sebelumnya.

To be continue…

--

--