My UTBK Recap | Pengalaman UTBK di Tahun 2021

Berylla Asyarif
10 min readJun 1, 2023

--

Bismillah, so, the story start begin …

I never thought that i must faced the reality, like, masuk SMA, “haha-hihi”, dapet peringkat tertinggi di angkatan, masuk list eliglible, end up with lolos di PTN yang kumau.

HAHA, so naive.

Semuanya dimulai dari awal masuk SMA. Saat itu aku memang bukan anak yang punya banyak prestasi. Nilai Rapor SMP-ku juga sebenarnya biasa saja. Walau dapat peringkat 5 besar, tetapi kalau dibandingkan dengan juara angkatan, tidak ada bagus-bagusnya. Jelek.

Setelah ikut PPDB sana-sini, terlempar sana-sini, gagal lolos sana-sini, akhirnya dengan berat hati dan terpaksa, aku masuk salah satu SMA swasta dekat rumah. Bayang-bayang sulit tembus PTN karena bukan SMA favorit, track record alumni yang menurutku masih kalah dengan SMA lain, dan semangat belajar yang rendah di lingkungan sekolah semakin membuat putus asa.

Mmm, tidak sepenuhnya putus asa, sih. Alhamdulillah, aku masih bisa menyabet 5, bahkan 3 besar di kelas. Nilai ulangan biologiku juga jarang remedial, bahkan saat kelas 11, guru biologiku sampai berkata,

“Yang namanya saya panggil berarti tidak remedial, ya.”

Beliau melirik ke arahku sambil tersenyum.

“Pasti Berylla, nih, yang ga remedial.”

Kata-kata beliau terjabah. Namaku dan beberapa orang dipanggil. Artinya, aku tidak remedial. Fyi, untuk mata pelajaran Biologi, tiap berganti bab, selalu ada ulangan harian sebelum masuk bab baru. Alasannya karena untuk mendongkrak nilai UTS maupun UAS yang kurang.

Menginjak semester kedua di kelas 11, Qadarullah, pandemi menyerang. Rencananya, hanya dua minggu saja belajar secara daring. Ternyata sampai dua tahun. Saat kelas 12, banyak materi pelajaran yang sulit kumengerti karena pembelajaran secara daring benar-benar membuat gerakanku terbatas. Aku tidak bisa diskusi dengan teman-teman yang lain, materi kelas 12 yang lebih advance tingkatannya, dan banyaknya PR.

Mama sampai menyarankanku untuk ikut bimbel karena melihat diriku yang malang menangis di depan buku tulis Fisika. Materi listrik, gaya magnet, sampai identifikasi gaya Newton benar-benar di luar nalar. Ga sanggup saya.

Selain mengejar materi sekolah yang tertinggal, di tempat bimbel juga ada kelas persiapan UTBK. Kerjaanku saat semester dua kelas 12 hanya belajar saja. Pagi sampai siang sekolah daring, lanjut mengerjakan tugas, sorenya langsung tancap gas ke tempat bimbel hingga azan Magrib. Kalau ada kelas tambahan yang menurutku penting, seperti kelas persiapan TPS/TKA, biasanya aku ikut dan pulang hingga jam 8 malam. Daily life-ku saat 6 bulan terakhir kelas 12 kurang lebih seperti itu.

Capek? iya, tapi, yah, mau bagaimana lagi? Namanya juga ikhtiar, hehe.

Karena terlalu fokus dengan persiapan UTBK, beberapa tugas sempat tidak terpegang dan nilai ulanganku mulai turun. Seharusnya, secara logika, jika aku belajar materi UTBK, terutama TKA, aku bisa sambil belajar mengejar materi sekolah dan mengerjakan tugas. Nyatanya tidak. Sudah bimbel pun, kemampuan mengerjakan soal Fisikaku hanya begitu-begitu saja. Matematika jangan ditanya. Hanya Kimia dan Biologi yang lumayan ada harapan. Di sini aku tidak bermaksud mendoktrin bahwa ikut bimbel itu tidak berguna. Berguna, kok. Tergantung orangnya. Saat itu, posisiku masih dalam tahap mengejar materi sekolah. Namun materi UTBK di tempat bimbel sudah dilalap habis, jadilah aku kebingungan ketika mengerjakan soal latihan soal UTBK yang materinya belum sempat kukejar.

Ada sedikit cerita menarik terkait persiapan UTBK-ku. Seperti yang kubilang, aku masih dalam tahap mengejar materi, jadi saat itu fokusku belajar materi, bukan latihan soal. Staf di bimbelku menyarankan agar aku mengambil kelas tambahan privat untuk mengejar materi supaya aku lebih mudah memahami soal-soal UTBK. Biasanya, aku memilih kelas tambahan selepas Magrib. Kelas tambahan yang kuminta biasanya Matematika, Kimia, dan Biologi. Fisika bukan prioritas. Terlalu sulit.

Ketiga kelas ini ditutori oleh tutor perempuan dengan tambahan satu tutor laki-laki untuk kelas kimia. Entah aku terlalu berlebihan atau memang materi kimia yang saat itu sedang mudah-mudahnya kucerna, cara tutor kimia (laki-laki) menjelaskan materi, membuat aku sedikit kagum?

Is the most freak feeling, tetapi aku merasa terlalu diperhatikan. Setiap aku tambahan kelas kimia dengan beliau rasanya, tuh, berbunga-bunga banget (aku agak geli ngetiknya, jujur). Materi yang tadinya sulit jadi lebih mudah dicerna.

Sampai suatu saat, waktu aku sedang menunggu kelas di ruang tunggu bimbel. Beliau notice kalau aku ada di sana, kebetulan meja kami berseberangan.

“Beril?”

“Iya?”

“Kamu anaknya Pak X, kan?”

Aku terdiam. Bingung.

“Bukan, Kak”

“Oh, saya kira kamu anaknya Pak X. Rumahmu yang di daerah Y, kan?”

“Iya”

“Kalau gak salah, saya pernah lihat kamu pas pulang. Saya yang ke arah Z, kamu tahu, kan?”

“Oh, iya, Kak”

Jujur rasanya mau teriak saat itu juga. Berasa salting waktu tahu kalau rumahku dan beliau itu berdekatan. Pulang kelas, dengan hebohnya aku menceritakan berita hangat itu ke adikku. Kebetulan kami bimbel di tempat yang sama dan saat itu dia tidak sedang ada kelas. Dia juga setuju dengan pendapatku, kalau cara mengajar beliau itu benar-benar membuat kami langsung paham.

Secara postur, beliau itu tinggi semampai, rambutnya disisir rapi ke samping, orangnya kurus, suaranya tidak terlalu nge-bass, tetapi tidak terlalu tenor juga, dan yang paling mencolok dari beliau adalah, beliau selalu hadir di kelasku setiap hari Jumat dan memakai baju koko. Hanya sekali atau dua kali kulihat beliau memakai baju kemeja biasa, selebihnya baju koko semua. Wajarkan kalau aku kagum?

Selain beliau, ada tutor (perempuan) lain yang juga membantuku memahami materi UTBK. Cara mereka mengajar juga lumayan enak dan mudah kupahami.

Aku ingat bagaimana perjuanganku memahami materi pertidaksamaan garis singgung dan transformasi geometri yang mati-matian kupahami. Tutor matematikaku dengan sabar menuntun dan memberikan konsep-konsep mudah untuk memahami soal. Suara beliau selalu terngiang-ngiang di kepalaku.

“F aksen sama dengan Y aksen”

“Kamu inget aja, kalau ditranformasikan, berarti saat dimasukin ke persamaannya, tandanya jadi berubah”

“Bisa, Insya Allah bisa, kok

Kemudian ada tutor biologi. Beliau termasuk tutor favoritku. Biologi itu sebenarnya mudah, tetapi karena materinya terlalu banyak ditambah dengan bahasa ilmiah yang luar biasa sulitnya, jadilah kebanyakan orang menganggap biologi itu harus paten dihafal. Beberapa materi seperti taksonomi & hormon memang butuh hafalan yang kuat, di luar itu hanya cukup paham konsep saja, kok.

Ketika kelas privat bersama tutor biologiku, beliau sampai rela membagikan buku pelajaran yang biasa beliau pakai. Ada dua buku yang biasa beliau pakai sebelum mengajar, yaitu Biologi Campbell dan Fisiologi Anatomi Tortora. Biasanya beliau memahami materi di dua buku itu, baru setelah itu mengajar siswa dengan modul bimbel. Dua buku tersebut juga beliau pakai saat masih menjadi mahasiswa biologi UI. Beliau juga membagikan materi ringkasan biologi dalam format PPT secara cuma-cuma. Jujur, materi PPT-nya enak banget buat belajar UTBK. Seneng rasanya.

Fun fact, buku Fisiologi Anatomi Tortora yang beliau bagikan terpakainya baru saat ini. Saat aku memasuki tahun pertama perkuliahan.

So, kurang lebih dua bulan menjelang UTBK, aku benar-benar pushing energy biar semakin siap. Ikut kelas reguler bimbel, kelas privat, try out bimbel, try out Pah*mif* & Zen**s, selalu berdoa minta yang terbaik, semakin rajin salat tahajjud (ini jangan ditiru, ya. Salat karena itu sunnah Nabi & anjuran dari Allah, bukan karena hajat semata, huhu). Sampai di titik di mana aku benar-benar pasrah, aku nangis tiap doa karena takut gagal lolos.

Tetapi, yah, namanya takdir. Kalau Allah belum berkehendak, mau aku bimbel dari pagi ke pagi lagi pun tidak bisa merubah apa-apa.

Saat itu, sebagai angkatan 2021, angkatan pertama yang merasakan adanya TKA dalam UTBK, — setelah sebelumnya TKA dihapus pada tahun 2020 karena alasan pandemi — aku belum sepenuhnya siap. Fokusku hanya di materi TKA, materi seperti TPS kuhiraukan. Padahal, itu materi yang bisa mendongkrak skor UTBK-ku.

Aku pun melakukan registrasi di laman LTMPT, mengisi data & dokumen yang diperlukan, dan memilih lokasi UTBK. IPB menjadi pilihanku saat itu karena aku baru sekali ke sana dan berminat untuk mengunjunginya lagi. Hitung-hitung refreshing, hehe.

Jadwal dan lokasi UTBK pun kudapatkan. Kalau tidak salah aku mendapatkan gelombang kedua karena sebelumnya aku menunggu hasil SNMPTN terlebih dahulu. Ya, aku masuk deretan siswa eligible tetapi, aku tidak lolos. Pilihanku saat itu modal nekat. Pendidikan dokter UI dan pendidikan dokter UIN Jakarta. Padahal, jelas-jelas nilai raporku tidak menyentuh angka sembilan puluh. Huh.

Ah, iya. Kenapa pilihannya pendidikan dokter semua? Sejak masuk SMA, Mama Papa sudah mengarahkanku untuk masuk FK. Dulu waktu kecil, aku sempat berminat masuk jurusan seperti manajemen atau akuntansi karena melihat background Mama Papa yang sama-sama berasal dari jurusan akuntansi. Aku sebagai putri sulung dengan 2 adik laki-laki, akhirnya dengan lugu mengiyakan keinginan mereka. Terlebih, di keluarga besar, belum ada anggota keluarga yang berasal dari rumpun kesehatan. Sebagian besar berasal dari rumpun ilmu sosial.

Kembali ke UTBK. Jadi, aku mendapatkan tanggal ujian pada 28 April 2021 sesi dua di IPB. Aku lupa di gedung apa, yang jelas Lab. Komputer.

Kartu peserta UTBK-ku entah kemana, ini yang masih kusimpan | Dok: Pribadi

Biasanya, sebelum UTBK, para peserta akan dianjurkan untuk cek lokasi. Namun, karena masih dalam keadaan pandemi, jadi pengunjungnya dibatasi. Menurutku, IPB saat itu sangat informatif mengenai penyelenggaraan UTBK. Mereka mengadakan sosialisasi melalui YouTube, Instagram, bahkan sampai membuat website khusus. Di website tersebut, ada salah satu opsi untuk mengecek lokasi UTBK. Sistemnya seperti Google Street View, sehingga dapat mengurangi kemungkinan berkumpul saat pandemi.

Hari UTBK pun tiba, dengan penuh keraguan karena materi yang kulahap hanya itu-itu saja, aku hanya bisa pasrah. Rasa ingin menangis tiba-tiba sering terlintas, mungkin karena terlalu cemas.

Aku masuk ruangan, dokumenku diperiksa, namaku dipanggil, dan … tara. Di depanku sudah ada layar komputer super besar, sekat meja yang tinggi, dan suhu ruangan yang sangat dingin.

TPS merupakan tes yang pertama kali diujikan, terdiri dari penalaran umum, penalaran dan pengetahuan umum, pemahaman membaca dan menulis, serta pengetahuan kuantitatif.

Tidak banyak yang bisa kuharapkan, kebanyakan aku memblok jawaban ketika benar-benar buntu. Kemampuan skimming-ku pun masih jelek. Waktuku banyak habis karena tidak fokus dan membaca soal berkali-kali. Di bagian penalaran pun tidak ada yang bisa diharapkan. Fokusku hanya di bagian TKA saja, sehingga aku merasa tidak familiar dengan soal TPS, padahal sudah berkali-kali try out. Omong-omong soal try out, skor rata-rata yang kudapatkan terakhir kali hanya 350-an, masih sangat jauh dari target, yaitu 600-an.

Try Out pertamaku di Paham*fy | Dok: Pribadi
Try Out-Try Out selanjutnya. Skorku selalu naik turun dan belum mencapai 400-an | Dok: Pribadi

Salah satu kesulitan terbesarku ada pada subtes penalaran umum yang isinya kebanyakan logika matematika, hiks. Aku sama sekali tidak punya pengalaman mengerjakan soal “jika-maka”, “apabila-maka”, “Semua A-Sebagian B”, dan lain-lain. Pengetahuan kuantitatif pun tidak kalah sulit. Aku hanya sanggup mengerjakan lima soal dan selebihnya kublok. Materi yang diujikan tidak jauh beda dengan TKA Matematika sebenarnya. Namun, dengan waktu 15 menit dan ada 15 soal yang harus dikerjakan. Monangis rasanya.

Masuk ke TKA, subetesnya terdiri dari Matematika, Fisika, Kimia, dan Biologi. Matematika bernasib sama dengan PK, Fisika rasanya aku benar-benar mengerjakan sambil menutup mata saking sulitnya, Kimia masih ada harapan, soal-soalnya kebanyakan berkutat di titrasi asam-basa, perhitungan mol, laju reaksi, kesetimbangan, bentuk molekul, turunan alkana, dan lain-lain yang masih bisa kujejalkan di otak. Terakhir, biologi. Waktu mengerjakan rasanya optimis sekali. Aku bahkan sampai tersenyum-senyum saat melihat soal yang bisa dibilang lumayan mudah.

Setelah berkutat kurang lebih 4 jam, akhirnya ujian selesai dan aku segera pulang. Dramaga saat itu sedang hujan deras, ditambah lagi jalan rayanya sangat macet, dan aku baru berbuka puasa dengan air putih. UTBK 2021 saat itu diselenggarakan saat pertengahan Ramadhan, btw. Saat itu keinginanku hanya satu. Lolos di pilihan pertama atau keduaku. Dengan modal nekat yang sama, aku memilih universitas pilihan pertama dan kedua sama dengan pilihan saat aku SNMPTN.

If you have a crush with thing and you hardly effort for it, you must be hard to forget it.

Semua waktu yang kubuang untuk kejar materi, untuk latihan soal, untuk try out, bahkan untuk berdoa sampai nangis-nangis memohon, belum tentu bisa menjamin aku lolos PTN tahun itu. Namun, setidaknya aku punya bukti ikhtiar untuk mencapai apa yang aku mau. Allah tidak akan diam dengan ikhtiar dan tawakkal hamba-Nya.

Pengumuman hasil UTBK kurang lebih satu bulan setelah aku UTBK di IPB, dalam waktu sebulan, aku masih harus persiapan untuk ujian mandiri. Aku masih bolak-balik bimbel sampai malam, review materi, latihan soal, dan ritual sejenisnya. Ada banyak ujian mandiri yang saat itu kuikuti, yaitu:

  1. SIMAK UI
  2. Penmaru UPNV Jakarta (Skor UTBK)
  3. SPMB UIN JAKARTA
  4. SMMPTN BARAT (Pilihan universitas: UIN JAKARTA)

Sebenarnya, kadang aku merasa agak menyedihkan sampai harus mengejar ujian mandiri. Saat pengumuman SNMPTN, aku dinyatakan tidak lolos di semua pilihanku. Sedih? Tentu, Nangis? Sedikit, hanya butiran-butiran kekecewaan yang cepat kering. Aku urutan tiga dari sekitar sepuluh orang di kelasku, dengan nilai rapor yang lumayan dibanding ketujuh temanku yang lain, aku optimis bisa lolos, kalaupun tidak, setidaknya tidak ada hal di luar nalar yang akan membuatku sangat kecewa.

Tapi, yah, namanya rezeki. Sudah Allah atur dan tidak mungkin tertukar. Saat itu memang egoku sedang tinggi-tingginya, apalagi sering menyabet lima besar di kelas. Dari kesepuluh orang itu, hanya satu orang yang lolos. Padahal, orang ini peringkatnya berada di bawahku. Ditambah, dia lolos di jurusan yang menurutku lumayan prestisius, teknik lingkungan. Di saalah satu PTN di Semarang. Terlepas dari strategi pemilihan jurusan, nilai rapor, sertifikat prestasi, track record alumni, dan sebangsanya, aku merasa heran dan kecewa.

Selama aku SMA, apa saja yang kulakukan? Apa belajarku masih kurang? Apa nilaiku masih di bawah rata-rata? Apa jurusan yang kupilih terlalu “ketinggian”? Atau memang ini yang terbaik? Di situ, aku masih sabar, mungkin rezekiku di UTBK, pikirku. Jadi, aku hanya bersedih sekilas saja. Mama dan Papa juga tetap mendukung usahaku ke depannya, entah hasil UTBK-ku lolos atau tidak.

Hari pengumuman pun tiba, time line Twitter-ku pun berseliweran ucapan selamat dan selebrasi hasil UTBK. Saat aku mencoba membuka laman pengumuman, ternyata agak lama, lamannya terlalu banyak visitors sehingga loading-nya lumayan lama. Setelah menunggu lumayan lama, laman pengumuman itu terlihat, aku mengetik nomor UTBK-ku dan tanggal lahir.

Jantungku berdegup kencang. Firasatku buruk. Aku takut mengecewakan.

Aku memejamkan mataku hingga aku menangkap warna hijau di layarku.

Tap to the next story

--

--